Header Ads

Breaking News
recent

Kereta Api Cepat yang Anti Pancasila

Salah satu contoh benderang ketidakadian sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akhirnya mencuat dengan kepastian terselenggaranya mega proyek Kereta Api Cepat Jakarta - Bandung.
Ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 21 Januari 2016 dan dipastikan dengan penandatanganan konsesi oleh Menteri Perhubungan pada tanggal 16 Maret 2016.
Mega proyek dengan investasi senilai 5,135 miliar dollar AS atau Rp. 67,3 triliun (kurs 13.100) ini, 75 persennya dibiayai dengan utang dari China Development Bank dan 25 persen sisanya atau senilai Rp. 16,8 triliun berasal dari PT. Kereta Cepat Indonesia China, perusahaan gabungan China Railway International Co. Ltd dan PT. Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), dimana China Railway memiliki 40 persen saham dan PSBI 60 persennya. Sedangkan PSBI sendiri merupakan perusahaan kawinan badan-badan usaha milik negara yang terdiri dari Wijaya Karya, KAI, PTPN VIII dan Jasa Marga. Artinya, kekayaan negara sebesar 10 triliun rupiah lebih digelontorkan melalui BUMN-BUMN tersebut untuk membiayai mega proyek yang penuh pro dan kontra ini.
Yang menjadi pertanyaan, selaraskah mega proyek ini dengan cita-cita bangsa untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menimbang situasi dan kondisi negara saat ini? Dan apa kabarnya nanti kekayaan negara berikut dengan BUMN-BUMN yang turut serta dalam proyek tersebut?
Ketimpangan Ekonomi dan Sosial Semakin Melebar
Menurut data BPS, produk domestik bruto (PDB) per kapita DKI Jakarta tahun 2014 adalah sebesar Rp. 174,8 juta, sedangkan Kota Bandung Rp. 69,9 juta per tahunnya. Di tahun yang sama, PDB per kapita Propinsi NTT hanya mencapai Rp. 13,6 juta dan Propinsi tetangganya, Maluku, di kisaran Rp. 19,1 juta per tahunnya, jauh di bawah rata-rata PDB per kapita Indonesia yang bercokol di angka Rp. 42,4 juta per tahun. Dengan tingkat ketimpangan pendapatan seperti ini, maka pemaksakan menggunakan kekayaan negara senilai 10 triliun rupiah melalui BUMN-BUMN dan memicu pertambahan portfolio total utang Indonesia di angka 50 triliun rupiah, demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang jauh lebih kaya dibandingkan saudara sebangsa dan setanah airnya di belahan timur Indonesia, tentu menciderai rasa kemanusiaan dan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalih meningkatkan kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta, Kota Bandung dan daerah sekitarnya yang dilalui jalur Kereta Api Cepat dengan adanya moda trasportasi tambahan inipun masih diperdebatkan. Saat ini, perjalanan Jakarta - Bandung dapat ditempuh lewat jalur darat dengan rute tol Cikampek - Purwakarta - Bandung atau rute alternatif melalui kawasan Puncak, yang keduanya biasanya hanya macet di akhir pekan atau hari libur; dengan menggunakan kereta api konvensional yang penumpangnya cenderung turun dari tahun ke tahun; dan atau lewat jalur udara. Dengan konektifitas Jakarta - Bandung lewat darat dan udara yang telah tersedia dan memadai serta hanya padat di akhir pekan atau tanggal merah, lalu apa manfaat signifikan Kereta Api Cepat bagi kebanyakan warga Jakarta dan Bandung? Terciptanya kantong-kantong ekonomi baru di jalur perlintasannya pun menjadi suatu pertanyaan besar, mengingat mega proyek ini sekedar penambahan moda angkutan orang, bukan barang. Apalagi kapasitas angkutnya menurut data FITRA hanya di kisaran 12.800 orang per harinya.
Patut dipertanyakan niat baik pemerintah yang memaksakan penggunaan kekayaan negara senilai 10 trilliun rupiah itu dan sumber daya BUMN-BUMN yang terlibat, untuk mengerjakan suatu mega proyek yang tidak berpihak kepada daerah yang berkekurangan dan bahkan hanya memberi sedikit manfaat kepada daerah yang terdampak. 10 trilliun rupiah itu dapat dipergunakan untuk membangun 200.000 rumah sederhana, mencetak 666.000 hektar sawah baru, dan mewujudkan 1.400 kilometer jalan di Papua. Dan bayangkan berapa banyak lagi yang bisa dibangun untuk masyarakat dan daerah yang kurang sejahtera dengan utang 50 trilliun rupiah lebih itu?
Bila menyitir penuturan Bung Karno dalam ceramahnya tentang Pancasila bahwa keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, dan seterusnya, maka adalah suatu keniscayaan bahwa proyek Kereta Api Cepat Jakarta- Bandung bertentangan dengan cita-cita hidup berbangsa dan bernegara, dan hanya memperlebar ketimpangan ekonomi dan sosial di Republik ini.
Kebangkrutan BUMN-BUMN Yang Terlibat
Ironisnya, BUMN-BUMN yang "dipaksa" berpartisipasi dalam mega proyek Kereta Api Cepat inipun bertentangan dengan maksud dan tujuan pendirian BUMN di dalam Undang-Undang no. 19 tahun 2003 tentang BUMN. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional jelas tidak sejalan dengan mega proyek yang bersifat regional Jakarta dan Jawa centris ini. Begitu pula dengan maksud menyelenggaraan kemanfaatan umum bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, mengingat kecilnya manfaat yang dihasilkan dan hanya segelintir masyarakat mampu yang hajat hidupnya terpenuhi.
Sedangkan tujuan mengejar keuntungan bagi BUMN menjadi mengejar rugi kalaulah dihitung berdasarkan proyek ini saja. Taruhlah skenario optimistis dengan kisaran penumpang per hari mencapai 12.000 orang (dari kapasitas hampir 13.000 menurut data FITRA) dengan tiket sekali jalan seharga Rp. 250.000. Maka pendapatan kotor per harinya adalah sebesar 3 miliar atau 1,095 triliun per tahunnya. Di lain sisi, pinjaman dari China Development Bank (CDB) senilai 50,5 triliun dengan tingkat suku bunga 2 persen untuk pinjaman dolar Amerika dan 3,64 persen untuk renmimbi, mengakibatkan pembayaran bunga sebesar 1,32 triliun per tahun. Dari pendapatan kotor dikurangi bunga saja akan merugi sekitar 220 milyar per tahunnya. Belum lagi ditambah beban operasi, perawatan, pajak dan lain sebagainya yang bisa jadi di kisaran 70 persen dari pendapatan kotor atau sekitar 760 milyar per tahunnya. Lalu kerugian hampir 1 triliun per tahun ini siapa yang akan menanggung? Lagi-lagi kekayaan negara dalam bentuk penyertaan modal negara yang akan dikorbankan ujung-ujungnya. Dan bagaimana nasib 10 triliun modal yang disetor oleh BUMN-BUMN tersebut? Yang mendapatkan keuntungan dalam mega proyek ini hanyalah CDB, pemasok China dan tentunya para pemburu rente yang memaksakan terlaksananya pekerjaan ini.
Memang BUMN-BUMN yang terlibat menyadari akan potensi kerugian tersebut dan berdalih akan menutupinya melalui proyek-proyek di kantong-kantong ekonomi yang tercipta dari jalur Kereta Api Cepat ini. Akan tetapi mengingat kapasitas hanya sekitar 13.000 orang yang termobilisasi per harinya dan tanpa adanya jalur mobilisasi barang yang menyertai, maka kantong-kantong ekonomi tersebut kecil kemungkinan menjadi suatu keniscayaan; dan tentunya demikian pula proyek-proyek yang diharapkan untuk menutupi kerugian, hanya menjadi mimpi di siang bolong.
Nasi Sudah Menjadi Bubur
Keberpihakan mega proyek Kereta Api Cepat kepada daerah yang lebih sejahtera dan segelintir masyarakat yang lebih kaya jelas bertentangan dengan cita-cita mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesa sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila. Kebermanfaatan signifakan yang dihasilkan bagi masyarakat Jakarta, Bandung dan Sekitarnya dengan mega proyek inipun masih menjadi tanda tanya besar. BUMN-BUMN yang terlibat nampaknya akan menuai kerugian dan kekayaan negara sebesar 10 trilliun akan sirna menjadi onggokan besi baja usang.
Lalu, mengapa pemerintah tetap memaksakan penyelenggaraan mega proyek ini? Tak bisa dihindari adanya sinyalemen-sinyalemen tekanan para pemburu rente yang duduk di lingkar kekuasaan yang mengejar fee-fee pengadaan barang dan jasa melalui proyek ini, dan juga tekanan kepentingan China untuk menggenjot perekonomiannya yang tengah lesu melalui industri-industri terkait dengan proyek Kereta Api Cepat ini.

Apa daya, kini konsesi telah ditandatangani memastikan mega proyek ini terselenggara. KPK mesti mengawasi melekat pelaksanaan proyek ini dengan adanya sinyalemen kuat kehadiran para pemburu rente. 10 persen dari 67 trilliun rupiah itu nilainya 6.7 triiliun. Santapan yang cukup menarik bagi para pemburu rente di lingkar kekuasaan. Semoga ke depannya, pemerintah tidak mengulangi blunder kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila seperti ini lagi. Karena ini Indonesia, Bung! Negara yang mengada karena tetesan darah para pejuang. Ini bukan negerinya para demagog dan pemburu rente, dan bukan pula negara satelit China. Merdeka!!!

No comments:

Powered by Blogger.